Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan
Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul
dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk
Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju
pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan
Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka
jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan
Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin
(1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali
Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda
(1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat
ditangkisnya oleh SultAceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur
pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada
masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam,
kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula
meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah
dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan
nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan
Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri
selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong
halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan
untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat
disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang
paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir
James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan
"Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat
perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud
baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh
dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi
dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir
James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra
antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai
hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan
dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris,
Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat
dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan
inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di
Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan
dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam
beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia
Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha
Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh
mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang
berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki
Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung
demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit
hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya
ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya
tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut
baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang
cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut
pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada
masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang
jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan
utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud
menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun
dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya
Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari
benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of
Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut
bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan
medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng
Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang
sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan
Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini
disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga
membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin
Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan
Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau
merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani.
Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab,
dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an
orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah
berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan
keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya
berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan
Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan
Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad
dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis.
Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada
Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu
sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan
dalam urusan Aceh dan Belanda.
an-sultan Aceh ini. Selama
periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.
Sumber : Sejarah Negara Indonesia
By HIZBI SHIDQI NACHNOER
Kamis, 27 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar